Minggu, 12 Juni 2011

Renungan

Setiap orang pasti mengalami masa balita, anak-anak, pubertas yang bergantung pada orang tua, bahkan masa remaja juga masih bergantung pada orang tua. Biasanya minimal kita bergantung pada orang tua hingga lulus SMA atau hingga lulus kuliah. Selama itu pula kita terus memaksa orang tua untuk menomorduakan keinginannya demi kebutuhan kita.

Kita mungkin pasti masih ingat ketika kita SD, kita sering merengek minta dibelikan mainan ini-itu hingga orang tua mengalah dan membatalkan keinginan pribadinya membeli kosmetik dan membelanjakan uangnya untuk membelikan mainan yang tak lama kemudian teronggok tak dimainkan lagi karena bosan. Memasuki masa SMP, kebutuhan sekolah semakin banyak, namun orang tua kita tetap menyisihkan uangnya untuk kebutuhan kita. Uang yang seharusnya bisa dibelikan baju baru untuk dirinya, digunakan untuk membayar buku-buku sekolah yang kita beli yang hanya disebar di kamar tanpa pernah dibaca. Beranjak remaja, kembali kita memaksa orang tua kita untuk membatalkan keinginannya membeli perhiasan karena permintaan kita yang menginginkan sebuah handphone agar dibilang gaul yang tak lama kemudian ditelantarkan karena pemakaian kita yang buruk hingga membuatnya cepat rusak atau karena perkembangan jaman yang membuat HP kita ketinggalan jaman hingga kita malu memakainya.

Orang tua kita tak pernah perhitungan dengan anak-anaknya. Mereka tidaklah pelit dan ikhlas merelakan keinginannya demi memenuhi kebutuhan dan keinginan kita. Tapi kita tak pernah menyadarinya, tak pernah menghargai pemberiannya yang dilakukan dengan pengorbanan. Hanya meminta tanpa menjaga, memakai dengan semena-mena. Pernahkah kita membayangkan perasaan mereka yang telah mengorbankan uang yang seharusnya bisa dipakai untuk membeli pakaian baru, dan mempergunakannya utuk membeli buku-buku sekolah kita. Atau uang yang seharusya digunakan untuk membeli emas sebagai investasi ke depan, dipakai untuk membelikan sebuah HP. Mereka ikhlas memberikannya demi kita, namun apa yang mereka dapat? Mereka mendapati bahwa buku-buku yang mereka belikan hanya menjadi sampah di kamar kita, tak pernah dibaca. Handphone yang mereka berikan tidak kita rawat dengan baik, hanya bertahan sebentar dan rusak begitu saja. Orang tua hanya mendapatkan kekecewaan, sakit hati. "Seharusnya dulu aku belikan saja pakaian dari uang itu, ternyata buku-buku itu tidak terbaca" "Kalau dulu uang itu kubelikan emas, pasti bisa tahan lama dan jadi investasi jangka panjang. Tidak seperti HP ini yang baru sebentar sudah rusak" mungkin itu yang terlintas di pikiran mereka sekarang, setelah melihat perlakuan kita akan apa yang telah mereka berikan kepada kita.

Kita tak pernah menyadari hal ini sebelumnya, namun akan merasakannya kelak ketika kita menjadi orang tua. Marilah mulai sekarang kita belajar menghargai suatu pemberian, jangan pernah lagi kita menyakiti hati orang yang telah merelakan keinginannya demi kita. Hargailah perasaan orang lain bila kita ingin dihargai!

Kamis, 09 Juni 2011

Good Luck and Bad Luck

Suatu ketika saat berada di dlam angkot, kita baru menyadari bahwa tak ada sepeserpun uang yang kita bawa. Tiba-tiba ada seseorang yang kita kenal masuk angkot tersebut dan dia memberikan uang untuk kita membayar angkot. Mungkin hal-hal semacam itu pernah atau sering dialami oleh kalian. Kita biasa menyebut hal itu dengan kata "keberuntungan" atau istilah lain yang memiliki makna yang sama. Dan pasti kalian juga pernah atau malah sering tertimpa musibah kecil (terpeleset kulit pisang, jatuh dari motor, tersiram air waktu jalan, dll) dan biasanya kita langsung mengumpat dengan kata "sial". Hal-hal semacam itu pasti melekat erat di kehidupan kita, ada yang menyebutnya suatu kebetulan belaka, yang lain menyebutnya suatu keberuntungan/kesialan, ada pula yang mengatakan "takdir", namun saya lebih suka menyebutnya dengan kata "balasan".

Mungkin kalian heran kenapa saya menyebut peristiwa tersebut dengan kata "balasan", mungkin sebagian juga sudah mengerti megapa saya menyebut dengan kata itu. Bagi yang belum mengerti, saya akan menjelaskan maksudnya. Dulu ustadz yang mengajari saya mengaji pernah mengatakan bahwa Islam tidak mengenal adanya keberuntungan atau kesialan karena semua itu adalah takdir yang telah dibuat oleh Allah. Namun takdir juga terbagi dua, ada takdir yang memang telah ditentukan oleh Allah, ada pula takdir yang datangnya tergantung dari perilaku/perbuatan orang tersebut. Misal bila kita melaksanakan ujian tanpa belajar sama sekali, kita tidak akan mendapat nilai yang baik. Seperti yang telah dikataka oleh Al Qur'an bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka berusaha. Kembali ke masalah keberuntungan, mungkin kalian bertanya bagaimana mengaitkan antara keberuntungan dengan takdir. Jawabannya adalah dengan istilah yang tadi saya pakai untuk menyebut keberuntungan, yaitu balasan.

Orang beragama pasti yakin bahwa Tuhan akan membalas semua perbuatan kita entah itu yang baik maupun yang buruk. Tuhan merupakan dzat yang tidak akan pernah mengingkari janjinya. Ketika kita melakukan suatu kebaikan, Tuhan akan membalasnya dengan kebaikan pula, begitu pula sebaliknya. Namun balasan yang Tuhan berikan tidak semata-mata bisa langsung kita rasakan saat itu juga, bisa datang sewaktu-waktu. Balasan itulah yang biasanya kita sebut dengan "keberuntungan". Jadi keberuntungan/kesialan semata-mata tidak terjadi egitu saja, bukan takdir yang diberikan begitu saja, namun itu merupakan hasil dari apa yang pernah kita perbuat di masa lalu. lagipula kita akan menuai apapun yang pernah kita tanam, bukan? Bila kita menanam kebaikan, kita akan menuai kebaikan di masa mendatang. Sebaliknya bagi siapapun yang menanam keburuan, di masa depan dia akan menuai keburukan yang pernah dia tanam. Jadi bila kita ingin mencari keberuntungan, kita bisa mendapatkannya dengan menanam kebaikan sebanyak-banyaknya. Jadi marilah kita menanam kebaikan sebanyak-banyaknya agar kelak kita mendapat keberuntungan ketika kita dalam kesulitan.

Rabu, 08 Juni 2011

Tentang Korupsi

Pulang kuliah, melirik televisi sambil bersiap makan siang, melihat apa yang disiarkan dalam berita. Kasus korupsi oleh seorang hakim terpampang, dilanjutkan dengan berita tentang koruptor lain. Heran, kenapa banyak sekali kasus korupsi di Indonesia? Mulai dari pejabat tinggi di sekitar pemerintah pusat, pejabat daerah, bahkan terdengar pula dugaan korupsi di tempat dimana dulu saya pernah menimba ilmu. Begitu banyak orang yang korupsi seakan masyarakat Indonesia memang diarahkan untuk menjadi koruptor. Tak heran bila begitu banyak koruptor di Indonesia karena memang hampir semua masyarakat Indonesia di semua lapisan masyarakat telah melakukan hal kotor tersebut sejak belia. Mencontek, terutama saat waktu ujian tiba seperti sudah menjadi kebiasaan yang wajar di kalangan pelajar. Bahkan tak jarang oknum guru juga terlbat dalam pelaksanaan hal kotor tersebut.

Pendidikan hanya sebagai formalitas, kecerdasan hanya dinilai dari angka pada raport, sedangkan angka tersebut didapat dari kecurangan ditambah dengan bantuan katrol (beberapa dengan bantuan uang). Seakan masyarakat Indonesia memang terlahir dengan bakat korupsi dan curang. Menghalangi diri mereka sendiri untuk maju. Tak heran bila mereka menjadi begitu karena mereka telah terhipnotis untuk mendapatkan segalanya secara instant, yang membuat mereka menjadi berpikir untuk menghalalkan segala cara demi mendapat apa yang mereka inginkan. Melupakan kepuasan yang dapat mereka raih dari usaha.

Kembali kepada para koruptor, kini saya mengerti mengapa banyak koruptor di Indonesia, kenapa mereka seakan tak pernah berhenti korupsi. Karena mereka telah terhipnotis oleh tayangan-tayangan di televisi yang mengubah pola pikir mereka. Berharap mendapatkan apa yang mereka inginkan secara mudah dan cepat hingga menhalalkan segala cara, termasuk cara kotor. Namun tak pernah puas dan selalu berharap lebih, semua karena mereka telah melupakan bahwa kepuasan berasal dari usaha yang kita lakukan untuk mendapatkan sesuatu, bukan dari mendapatkan sesuatu sebanyak-banyaknya. Tapi apalah gunanya saya mengerti hal itu bila tak mampu membuat orang lain mengerti. Entah apakah tulisan ini dapat membuat kalian mengerti, dan entah kapan semua orang akan mengerti dan peduli akan hal ini....